Cara Memotong Kuku yang Dianjurkan


Masihkah mau memotong kuku asal-asalan ???? Tidakkah kita ingin meneladani apa yang diajarkan oleh Habibul Mahbub Rasulullah SAW sampai dengan hal yg terkecil dan remeh sekalipun ????? Bahagiakah diri kita dengan bisa sedikit ITTIBA’ kepada Sunnah Al Musthofa SAW ?????


Menurut Ulama ada 3 tafsiran mengenai cara memotong kuku jari tangan kita, semuanya sepakat diawali dari kuku jari kanan terlebih dahulu :

PENDAPAT PERTAMA, MENURUT IMAM AL GHAZALI :

Dimulai dari jari telunjuk kanan, terus sampe jari kelingking kanan, lalu (berpindah) jari kelingking kiri, terus sampai ibu jari (jempol) kiri, kemudian (pindah lagi) diakhiri dengan ibu jari kanan.

Keterangan :

Gambaran detailnya kurang lebih demikian :

1. Mulai dari jari telunjuk tangan kanan
2. Jari tengah tangan kanan
3. Jari manis tangan kanan
4. Jari kelingking tangan kanan (Tinggalkan Ibu Jari tangan kanan)
5. Jari kelingking tangan kiri
6. Jari manis tangan kiri
7. Jari tengah tangan kiri
8. Jari telunjuk tangan kiri
9. Ibu jari tangan kiri
10. Diakhiri ibu jari (jempol) tangan kanan.

PENDAPAT KEDUA, MENURUT IMAM NAWAWI (Qoul inilah yg Mu’tamad, menurut ket. Dalam Kitab Fathul Mu’in) :

Dimulai dari jari telunjuk kanan, terus sampe jari kelingking, kemudian ibu jari kanan, lalu (berpindah) jari kelingking kiri, terus sampai ibu jari kiri.

Keterangan :

Gambaran detailnya kurang lebih demikian :

1. Mulai dari Jari Telunjuk tangan kanan
2. Jari tengah tangan kanan
3. Jari manis tangan kanan
4. Jari kelingking tangan kanan
5. Ibu jari tangan kanan
6. Jari kelingking tangan kiri
7. Jari manis tangan kiri
8. Jari tengah tangan kiri
9. Jari telunjuk tangan kiri
10. Diakhiri ibu jari (jempol) tangan kiri.

PENDAPAT KETIGA, MENURUT PENDAPAT YANG DISUKAI OLEH IMAM AHMAD BIN HAMBAL :

Pemotongan kuku jari tangan kanan dimulai dengan urutan “KHOWABIS” sedang jari tangan kiri dimulai dengan urutan “AUKHOSAB”

Keterangan :

Urutan “KHOWABIS” adalah sbb :

1. Dimulai dari jari kelingking tangan kanan
2. Jari tengah tangan kanan
3. Ibu jari tangan kanan
4. Jari manis tangan kanan
5. Diakhiri jari telunjuk tangan kanan

Urutan “AUKHOSAB” adalah sbb :

1. Dimulai dari jari Ibu jari tangan kiri
2. jari tengah tangan kiri
3. jari kelingking tangan kiri
4. jari telunjuk tangan kiri
5. Diakhiri jari manis tangan kiri

Keterangan tersebut berdasarkan pada sebuah hadis, sebagaimana ditutur oleh Ibnu Qudamah di dalam Kitab Al Mughniy :

مَنْ قَصَّ أَظْفارَهُ مُخالِفا لَم يَرَ فِي عَيْنَيْهِ رَمَدًا
“Barang siapa memotong kukunya dengan cara selang seling, maka kedua belah matanya tidak akan mengalami sakit....”

Sebagaimana di nadhomkan oleh sebagian ulama :

قَلِّمُوْا أَظْفَارَكُمْ عَلَى السُنّةِ وَاْلاَدَبْ # يُمْناها خَوَابِسْ يَسارُها أَوْخَسَبْ
“Potonglah kuku-kuku kalian menurut aturan sunnah dan adab..... Jari tangan kanan mengikuti methode “Khowabis” sedang jari tangan kiri memakai alur ‘Aukhosab”...”

Semua keterangan diatas adalah berlaku untuk jari-jari kedua tangan. Sedang mengenai jari-jari kaki (semuanya sepakat), pemotongan kuku dimulai dari jari kelingking kaki kanan, terus sampai jari kelingking kiri.

Disunnahkan memotong kuku pada hari Senin, Kamis, dan pagi hari Jum’at (maka setelah sholat Jum'at sudah tidak mendapat kesunnahan lagi), juga disunnahkan mencuci jari-jari tempat pemotongan, setelah pemotongan kuku (menurut sebagian keterangan : karena jika tidak dicuci apabila digunakan untuk menggaruk bisa menyebabkan penyakit)

(At Taqriirot As Sadiidah Fi Masa-il Al Mufiidah Hal. 79, karya Al Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim Al Kaff, salah seorang murid Al Habib Zein bin Ibrohim bin Smith Al Madinatul Munawwaroh)

SEMOGA BERMANFAAT................ !!!!!

Bolehkah Makmum Membaca Qunut Subuh, Sedangkan Imam Tidak Berqunut?


Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa dalam madzhab Syafi’i membaca doa qunut ketika shalat Subuh hukumnya adalah sunnah. Sunnah dalam konteks ini adalah sunnah ab‘adh sehingga jika terlewatkan disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi.

Lantas bagaimana jika imam tidak mengakui legalitas syar’i (masyru’) membaca doa qunut dalam shalat Subuh, sedangkan makmum mengakuinya. Tetapi pihak imam memberikan kesempatan kepada makmum untuk membaca doa qunut karena menghormatinya?

Dalam konteks ini apa yang dilakukan imam patut kita apresiasi. Misalnya, seandainya penganut madzhab Syafi’i yang mengakui kesunnahan membaca doa qunut dalam shalat Subuh bermakmum kepada orang yang menganut madzhab Hanafi yang notebene tidak menganggap kesunnahannya, kemudian ia sebagai imam berhenti sejenak setelah ruku' untuk memberikan kesempatan kepada makmumnya untuk membaca doa qunut, maka makmum hendaknya membaca qunut.

Namun jika tidak memberikan kesempatan maka ikutilah imam. Ini seperti yang dijelaskan Abul Qasim Ar-Rafi‘i dalam kitab Al-‘Aziz yang merupakan syarah atas kitab Al-Wajiz karya Imam Al-Ghazali.

وَإِذَا جَوَّزْنَا اقْتِدَاءَ اَحَدِهِمَا بِالْآخَرِفَلَوْ صَلَّي الشَّافِعِيُّ الصُّبْحَ خَلْفَ حَنَفِيٍّ وَمَكَثَ الْحَنَفِيُّ بَعْدَ الرُّكُوعِ قَلِيلًا وَاَمْكَنَهُ اَنْ يَقْنُتَ فِيهِ فَعَلَ وَاِلَّا تَابَعَهُ

“Ketika kita membolehkan mengikuti salah satu dari keduanya, maka seadainya penganut madzhab Syafi’i bermakmum di belakang penganut madzhab Hanafi dan ia (penganut madzhab Hanafi) setelah ruku' berdiam sejenak dan memungkinkan si makmum untuk membaca doa qunut, maka bacalah. Jika tidak (berhenti sejenak), maka ikutilah imam,” (Lihat Abul Qasim Ar-Rafi‘i, Al-‘Aziz Syarhul Wajiz, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1997 M, juz II, halaman 156).





Kesimpulannya, makmum boleh membaca qunut pada saat shalat Subuh meskipun orang yang menjadi imam tidak berqunut, dengan catatan sang imam memberi kesempatan kepada makmum untuk melakukannya. Jika tidak, maka makmum wajib mengikuti imam untuk sujud tanpa berqunut.

Menelusuri Ruh dan Jiwa


Ruh adalah hakikat dari manusia yang dengannya manusia dapat hidup dan mengetahui segala sesuatu. Dalam al Qur'an dijelaskan, Allah SWT meniupkan ruh ke dalam tubuh Adam AS untuk menghidupkannya (QS as-Sajadah [32]: 9). Demikian juga ke dalam rahim Maryam ketika mengandung Isa AS (QS al-Anfal [8]: 12 dan 66).

Ruh merupakan zat murni yang tinggi, hidup, dan hakikatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindera, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana menelusupnya air di dalam bunga, tidak larut dan tidak terpecah-pecah, untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh itu mampu menerimanya.

Dalam al Qur'an, ruh terkadang diartikan dengan malaikat dan wahyu. Di samping itu, beberapa pakar tafsir mengartikan ruh dengan jiwa. Dalam al Qur'an kata an-nafs diartikan dengan jiwa. Seperti kata-kata an-nafs al-mutma’innah (jiwa yang tenang) pada Surah al-Fajr [89]: 27. Dalam ayat ini bisa dimaknai, kata ruh mempunyai pengertian yang sama dengan an- nafs. Adapun perbedaannya terletak pada penggunaannya saja.

Misalnya, dalam ayat yasalunaka ‘an ar-ruh, qul ar-ruh min amri Rabbi (Bila mereka bertanya padamu tentang ruh, maka katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanmu) dan ayat ya ayyatuha an-nafsu al-mutmainnah irji’i ila Rabbiki radiatan mardhiyyah (wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu).

Ulama abad ke-10, Ibnu Sina, membagi jiwa atas tiga macam, an-
yaitu jiwa nabati (an-nafs an-nabatiyah), jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyah), dan jiwa insani (nafs al-insaniyah). Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi makan, tumbuh, dan berkembang. Jiwa hewani adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan kehendak. Sedangkan, jiwa insani adalah kesempurnaan awal bagi benda yang hidup dari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.

Jiwa insani inilah yang dinamakan dengan ruh, sebagaimana para filsuf Islam menyamakannya dengan jiwa manusia. Sebelum masuk atau berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dalam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al 'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan dan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak.

Imam al-Ghazali mengartikan an-nafs berdasarkan arti khusus dan arti umum. Dalam arti khusus, an-nafs merupakan sumber akhlak yang tercela dan harus diperangi. Sedangkan dalam arti umum, an-nafs adalah suatu jauhar yang merupakan hakikat manusia, yang oleh para ahli filsafat Islam disebut dengan an-nafs an-natiqah. Selanjutnya, Imam al-Ghazali menambahkan bahwa kalbu, ruh, dan an-nafs al- mutma’innah merupakan nama-nama lain dari an- nafs an-natiqah yang hidup, aktif, dan mengetahui.

Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah an-nafs dan ruh, juga ditemukan istilah al qalb (kalbu) dan al 'aql (akal). Empat istilah tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Perbedaannya terletak pada penggunaan arti. Para sufi mengartikan an-nafs sebagai sumber moral yang tercela, sedangkan ruh merupakan sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Ruh juga sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang merupakan rahasia Allah SWT yang hanya bisa diketahui oleh manusia tertentu setelah Allah SWT memberikan kasyf (gambar yang terbayang) kepadanya.

Al qalb atau kalbu diartikan sebagai wadah untuk makrifat, suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Ilahiah. Ini dimungkinkan jika hati telah bersih sebersih-bersihnya dari hawa nafsu, melalui pola hidup yang zuhud, wara', dan zikir secara terus menerus.

Sedangkan, al 'aql atau akal diartikan sebagai alat untuk mengetahui ilmu yang diamati dari pancaindera atau dari hal-hal yang zhahir (lahir). Karena itu, tingkatnya berada di bawah tingkatan al qalb.

Para cendekiawan Muslim banyak yang memilih diam dalam mempelajari asal usul ruh. Mereka mengemukakan alasan jiwa atau ruh itu adalah urusan Allah SWT yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali hanya Allah SWT (QS al-Isra’ [17]: 85).

Ibnu Qayyim al-Jauziyah berpendapat, segala yang dinisbahkan kepada Allah SWT ada dua macam. Pertama, yang tidak dapat berdiri sendiri yang memang bukan makhluk seperti sifat-sifat Allah SWT. Kedua, yang dapat berdiri sendiri, seperti dalam al Qur'an disebutkan Rasul Allah SWT dan ruh Allah SWT. Ini semua adalah makhluk Allah SWT, dinisbahkan kepada Allah SWT sebagai pemuliaan kepada Allah SWT.

Hubungan ruh dengan jasad dikemukakan oleh filsuf Islam, al-Farabi dan Imam al-Ghazali. Al-Farabi mengatakan, jiwa atau ruh merupakan bentuk bagi jasad di satu pihak dan jauhar ruhani di lain pihak. Ruh selalu bekerja melalui jasad dan jasad membentuk sasaran ruh. Ruh atau jiwa tidak akan ada jika jasad tidak bersedia menerimanya.

Dalam hal kerja ruh atau jiwa ini, Imam al-Gazali membaginya ke dalam dua macam arti. Pertama, dalam arti materiil (ruh hewani). Kedua, dalam arti immateriil (ruh insani). Dalam arti pertama, jiwa adalah organ jasad yang bekerja sebagai daya penggerak maupun daya yang mengetahui. Arti kedua, jiwa adalah nafs natiqah dengan daya praktik dan teori. Hubungan kedua macam jiwa ini dapat diketahui dengan ilham (ilmu mukasyafah) yang merupakan pembuka tabir hakikat hubungan keduanya karena kesulitan terletak pada perbedaan hakikat antara jiwa dan jasad.

Jiwa sebagai jauhar ruhani berasal dari alam Ilahi (alam malakut), sedangkan jasad berasal dari alam kejadian (khalq). Namun, yang jelas, menurut Imam al-Ghazali, jasad bukan tempat ruh karena sifat jauhar tidak mendiami tempat tertentu. Jasad hanyalah merupakan alat. Ruh mendatangi jasad sebagai substansi yang juga diperlukan oleh jasad bantuannya.

Ruh mengatur dan ber-tasarruf (bertindak) pada jasad sebagaimana halnya raja dengan kerajaannya. Keperluan ruh terhadap badan dapat diumpamakan dengan perlunya bekal bagi musafir. Seseorang tidak akan sampai kepada Tuhan kalau ruh tidak mendiami jasadnya selama di dunia. Tingkat yang lebih rendah harus dilalui untuk sampai pada tingkat yang lebih tinggi.

Imam al Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling memengaruhi. Di sini Imam al Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal, atau ruh, tetapi merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat itulah yang dinamakan manusia.

Tatkala Si Ucup Ditilang Polisi


POLISI : "Selamat sore... bisa tunjukin SIM atau STNK anda...?!!"
Ucup : "Aduh saya lupa enggak bawa pak..!!"

Polisi kemudian membuat surat tilang,,,

Ucup : "Tolong Jangan tilang saya dong pak... saya mau telpon bapak saya di kantor Ditlantas POLDA sebentar ya pak...!!"

Mendengar si ucup berkata seperti itu... pak polisi langsung kaget,,


POLISI : "Bener itu bapak kamu kerja di Ditlantas Polda..?"
Ucup : "Iya Bener pak... kalo bapak enggak percaya telepon saja pak... ini nomornya pak,,!!"
sambil memberikan secarik kertas yang berisi nomer HP bapaknya yang bekerja disana,,
POLISI : "Ya sudah pergi sana...!!"
Ucup : "Wah Makasih banyak ya Pak,,!!"


Pak Polisi pun penasaran kemudian pak polisi menelpon nomer HP tersebut,,


POLISI : "Halo... Selamat sore... benar nomor ini di Ditlantas Polda..??"
Suara telepon : "Iya Benar pak... apa yang bisa saya bantu pak..???"
POLISI : “Kalo boleh tau... ini di bagian apa ya...??”
Suara telepon : “Ini di bagian KANTIN pak… Bapak mau pesan nasi berapa bungkus..???”
POLISI : ???!&&%=$£€¥§¤#¿¿¡...hahahahaha

Shalat Subuh Disaksikan Para Malaikat


Allah SWT berfirman di dalam al-Qur'an:


أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا

"Dirikanlah shalat dari setelah matahari tergelincir hingga gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat)." (QS. al-Isra : 78).

Ada beberapa pertanyaan yang sering muncul dari ayat di atas, terutama yang berkaitan dengan shalat Subuh.

1. Mengapa shalat Subuh disebut Qur'anul Farj?
2. Apakah hanya shalat Subuh yang disaksikan malaikat, sedangkan shalat yang lain tidak?
3. Apa maksud shalat Subuh disaksikan malaikat?

Berikut adalah penjelasan dari tiga pertanyaan di atas.

Shalat Subuh disebut Qur'anul Farj

Mengapa shalat Subuh disebut demikian? Karena bacaan surat pada shalat Subuh lebih panjang dari shalat-shalat yang lain.



Ada banyak informasi dari hadit-hadits Nabi Saw yang memperlihatkan bahwa surat yang dibaca oleh beliau saat shalat Subuh adalah surat-surat yang jumlah ayatnya tergolong banyak dibanding surat yang beliau baca pada shalat-shalat yang lain.

Dalam hadits riwayat al Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa terkadang Nabi Saw pada rakaat pertama membaca surat as Sajdah (30 ayat) dan surat al Insaan (31 ayat) pada rakaat kedua.

Terkadang beliau juga membaca surat Qaf (45 ayat) atau surat lain pada rakaat pertama. (HR al Bukhari dan Muslim). Terkadang beliau membaca surat-surat pendek seperti surat at Takwir (15 ayat). (HR al Bukhari dan Muslim)

Terkadang beliau membaca lebih banyak lagi, misalnya membaca surat al Baqarah hingga 60 ayat atau lebih. (HR al Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Imam Nasa'i, Ahmad dan al Bazzar disebutkan beliau membaca surat ar Rum (60 ayat). Bahkan terkadang surat Yasin (83 ayat). (HR Ahmad).

Terkadang membaca surat al Waqi'ah (96 ayat) pada rakaat pertama dan kedua, atau surat-surat lain yang hampir sama panjangnya. (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan al Hakim)

Pernah pula beliau shalat Subuh di Mekah dengan membaca surat al Mu'minun (118 ayat). (HR al Bukhari dan Muslim).

Demikianlah di antara hadits-hadits yang menggambarkan kepada kita panjangnya surat-surat yang dibaca Rasulullah Saw saat menunaikan shalat Subuh. Itulah sebabnya shalat Subuh disebuat Qur'anul Fajr.

Apakah Hanya Shalat Subuh yang Disaksikan Malaikat, sedangkan Shalat Lainnya Tidak?

Perlu diketahui bahwa ayat tersebut tidak boleh dipahami secara mafhum mukhalafah, atau pendekatan terbalik. Kalau Allah mengatakan bahwa shalat Subuh disaksikan para malaikat, tidak berarti selain shalat Subuh tidak ada malaikat yang menyaksikannya.

Tentu saja malaikat menyaksikan shalat yang dilakukan setiap hamba, dan itu bukan hanya shalat Subuh. Bahkan semua gerak gerik, tindak tanduk dan segala yang tersirat dalam benak kita diketahui Allah dan tidak lepas dari catatan para malaikat.

Apa Maksud Shalat Subuh Disaksikan Malaikat

Penjelasan lebih dalam mengapa Allah dalam ayat tersebut menegaskan bahwa shalat Subuh disaksikan para malaikat adalah karena adanya momentun khusus yang terjadi pada waktu shalat Subuh; dan itu tidak terjadi pada waktu-waktu shalat yang lain.

Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dijelaskan oleh Rasulullah Saw bahwa yang dimaksud kalimat inna qur'aanal fajri kaana masyhuudaa adalah disaksikan oleh malaikat malam dan malaikat siang.

Perhatikan hadits berikut:

"Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda tentang firman Allah: 'Inna qur'aanal fajri kaana masyhuudaa'; (yakni) disaksikan oleh malaikat malam dan malaikat siang." (HR Turmudzi, hadits hasan shahih)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda:



تَفْضُلُ صَلَاةُ الْجَمِيْعِ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ جُزْءًا، وَتَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ. ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ: إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا



"Shalat berjamaah lebih utama dibanding shalatnya salah seorang di antara kalian dengan sendirian dengan dua puluh lima bagian. Dan para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada waktu shalat Subuh." Abu Hurairah kemudian berkata, "Jika mau silakan baca: "Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat)." (HR al Bukhari dan Muslim)

Jadi, momentun yang dimaksud itu adalah adanya dua rombongan malaikat yang menjadi saksi atas shalat Subuh yang dikerjakan oleh seorang hamba, yakni malaikat malam dan malaikat siang. Dengan demikian, jelaslah mengapa dikatakan shalat Subuh itu disaksikan oleh para malaikat.

Anjuran Shalat Subuh Berjamaah dan Terus Berdzikir Sesudahnya Hingga Matahari Terbit

Dalam sebuah hadits disebutkan:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »

"Dari Anas bin Malik ra, Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang menunaikan shalat Subuh secara berjamaah, kemudian duduk berdzikir (di tempat shalatnya itu) hingga terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat (yakni shalat Isyraq), maka dia mendapatkan pahala laksana pahala orang yang menunaikan haji dan umrah." Nabi Saw menambahkan, "Sempurna, sempurna, sempurna." (HR Turmudzi)



Hadits di atas menjelaskan betapa besar pahala yang diperoleh orang yang shalat Subuh berjamaah, kemudian tidak beranjak dari tempat shalatnya dan terus berdzikir hingga terbit matahari. Jika itu ia lakukan, maka ia mendapatkan pahala laksana pahala yang diterima oleh orang yang menunaikan haji dan umrah.

Kapan  waktu syuruq itu?

Al-Habib Mundzir al Musawa mengatakan 110 menit (1 jam 50 menit) dari waktu adzan untuk shalat Subuh bagi kita di wilayah Indonesia ini. Ada juga yang mengatakan sekitar 15 menit setelah waktu terbit matahari.

Demikian. Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam.

Risalah Shalat Gerhana

A. Pengertian
Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf (الخسوف) dan juga kusuf (الكسوف) sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus.
Namun masyhur juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari. 

1. Kusuf
Kusuf (كسوف) adalah peristiwa di mana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari. 

2. Khusuf
Khusuf (خسوف) adalah peristiwa di mana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari. 

B. Pensyariatan Shalat Gerhana
Shalat gerhana adalah shalat sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana para ulama telah menyepakatinya.

1. Al-Quran

 
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya, jika kalian hanya menyembah kepada-Nya. (QS. Fushshilat : 37) 

Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan. 

2. As-Sunnah

 
Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka berdoalah kepada Allah dan tunaikanlah shalat hingga selesai fenomena itu. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad) 

Selain itu juga ada hadits lainnya :
لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari). 

Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat. 

Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata. 

C. Hukum Shalat Gerhana
Para ulama membedakan antara hukum shalat gerhana matahari dan gerhana bulan. 

1. Gerhana Matahari
Para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa shalat gerhana matahari hukumnya sunnah muakkadah, kecuali mazbah Al-Hanafiyah yang mengatakan hukumnya wajib.

a. Sunnah Muakkadah
Jumhur ulama yaitu Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah berketetapan bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah muakkad.

b. Wajib
Sedangkan Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya wajib. 

2. Gerhana Bulan
Sedangkan dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para ulama terpecah menjadi tiga macam, antara yang mengatakan hukumnya hasanah, mandubah dan sunnah muakkadah.

a. Hasanah
Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat gerhana bulan hukumnya hasanah
.
b. Mandubah
Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah mandubah.

c. Sunnah Muakkadah
Mazhab As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah muakkadah. 

D. Pelaksanaan Shalat Gerhana

1. Berjamaah
Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah SAW mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana secara berjamaah dilandasi oleh hadits Aisyah radhiyallahu 'anha. Namun juga ada yang membolehkan dilakukan secara sendiri-sendiri.

2. Tanpa Adzan dan Iqamat
Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu Jamiah". Dalilnya adalah hadits berikut :

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari). 

3. Sirr dan Jahr
Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya). 

4. Mandi
Juga disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab shalat ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah. 

5. Khutbah
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum khutbah pada shalat gerhana. 

1. Disyariatkan Khutbah
Menurut pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan untuk disampaikan khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat. 

Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :
أَنَّ النَّبِيَّ  لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَال : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim) 

Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubat dari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun). 

2. Tidak Disyariatkan Khutbah
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa'zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar.
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan Nabi SAW setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu. 

Dasar pendapat mereka adalah sabda Nabi SAW :
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim) 

Dalam hadits ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk disampaikannya khutbah secara khusus. Perintah beliau hanya untuk shalat saja tanpa menyebut khutbah.

6. Banyak Berdoa, Dzikir, Takbir dan Sedekah
Disunnahkan apabila datang gerhana untuk memperbanyak doa, dzikir, takbir dan sedekah, selain shalat gerhana itu sendiri.
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Apabila kamu menyaksikannya maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah. (HR. Bukhari dan Muslim)
E. Tata Cara Teknis Shalat Gerhana
Ada pun bagaimana bentuk teknis dari shalat gerhana, para ulama menerangkan berdasarkan nash-nash syar'i sebagai berikut :

1. Dua Rakaat
Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku' dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah : 

Dari Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa Nabi SAW, orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi melakukan 2 ruku' dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku' untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. Aisyah ra berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku' yang lebih panjang dari ini. (HR. Bukhari dan Muslim) 

2. Bacaan Al-Quran
Shalat gerhana termasuk jenis shalat sunnah yang panjang dan lama durasinya. Di dalam hadits shahih disebutkan tentang betapa lama dan panjang shalat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu :
ابْنُ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَال : كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ فَصَلَّى الرَّسُول وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, dia berkata bahwa telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW melakukan shalat bersama-sama dengan orang banyak. Beliau berdiri cukup lama sekira panjang surat Al-Baqarah, kemudian beliau SAW ruku' cukup lama, kemudian bangun cukup lama, namun tidak selama berdirinya yang pertama. Kemudian beliau ruku' lagi dengan cukup lama tetapi tidak selama ruku' yang pertama. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih utama bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah dibaca surat seperti Al-Baqarah dalam panjangnya.

Sedangkan berdiri yang kedua masih pada rakaat pertama dibaca surat dengan kadar sekitar 200-an ayat, seperti Ali Imran. 

Sedangkan pada rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang panjangnya sekitar 250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua dianjurkan membaca ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah. 

3. Memperlama Ruku' dan Sujud
Disunnahkan untuk memanjangkan ruku' dan sujud dengan bertasbih kepada Allah SWT, baik pada 2 ruku' dan sujud rakaat pertama maupun pada 2 ruku' dan sujud pada rakaat kedua. 

Yang dimaksud dengan panjang di sini memang sangat panjang, sebab bila dikadarkan dengan ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan membaca 100, 80, 70 dan 50 ayat surat Al-Baqarah. 

Panjang ruku' dan sujud pertama pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku' dan sujud kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan seputar 70 ayat untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan rukuk terakhir sekadar 50 ayat. 

Dalilnya adalah hadits shahih yang keshahihannya telah disepakati oleh para ulama hadits.
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ  فَصَلَّى الرَّسُول  وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang sekira membaca surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku' sangat panjang lalu berdiri lagi dengan sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku' lagi tapi sedikit lebih pendek dari ruku' yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau berdiri lagi dengan sangat panjang namun sidikit lebih pendek dari yang pertama, kemudian ruku' panjang namun sedikit lebih pendek dari sebelumnya.(HR. Bukhari dan Muslim).
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blog Pribadi Abiza el Rinaldi - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger